Inilah film teranyar dari sutradara Takeshi Miike, yang biasa membuat film cult dan horor ultra-kekerasan. Kali ini Miike menyambangi genre samurai dan mengajak penonton kembali ke abad ke-19, saat Jepang masih berselimutkan feodalisme.
Ceritanya sederhana. Adalah Lord Naritsugu (Gorô Inagaki), adik dari seorang Shogun, yang bertindak sewenang-wenang, memperkosa dan membunuh, tanpa ada seorang pun yang berani bertindak. Dan ketika ia mendapat jabatan politik yang cukup signifikan, kecemasan makin melanda. Maka, Samurai senior Shinzaemon Shimada (Koji Yakusho) mengajak 11 samurai lainnya untuk membunuh sang tirani, termasuk keponakannya, Shinrouko (Takayuki Yamada).
Samurai lainnya adalah Kuranaga (wakil Shinzaemon, veteran samurai), Hirayama (murid Shinzaemon, seorang ronin yang mirip dengan karakter Kyūzō ('Seven Samurai') dan Britt ('The Magnificent Seven'), Sahara (ronin senior), Horii dan Hoguchi (murid Kuranaga yang pakar bahan peledak), Mitsuhashi (murid Kuranaga, ditugaskan menjadi tim pendahulu ke Edo), Ogura (belum pernah bertarung, tapi berdedikasi tinggi), serta samurai berkemampuan tinggi seperti Otake , Ishizuka, dan Hioki.
Setelah melakukan riset dan perencanaan matang (yang membuat penonton harus menunggu dengan sabar), diputuskan Edo adalah kota yang tepat untuk mencegat rombongan diktator itu. Masalahnya, Naritsugu mempunyai lebih dari 200 pengawal, bukan 70 seperti yang diperkirakan, yang semuanya samurai handal. Maka, ke-12 samurai, plus satu orang yang mereka temukan di belantara hutan, membuat jebakan-jebakan macam McGyver kuno. Dan pertarungan pun terjadi.
Masalah pertama: untuk "menikmati" pertempuran tradisional ini, penonton harus bersabar 45 menit. Tapi kesabaran itu akan terbayarkan karena 30 menit terakhir, tidak ada adegan yang tidak menyajikan adu pedang, atau semacamnya.
Bukan Miike namanya kalau tidak ada inovasi atau pesan. Walau film ini adalah daurulang dari film berjudul sama pada1963 karya Eiichi Kudo, dan terlihat sangat terinspirasi oleh 'Seven Samurai' buatan Akira Kurowasa, tapi "tanda tangan"-nya tetap terlihat.
Film ini mengkritisi institusi agung bernama "Samurai" dengan segala prinsipnya. Dan pengkritiknya adalah dua orang non-Samurai, yaitu Naritsugu dan "pembunuh ke-13", Koyata Kiga (Yûsuke Iseya) yang adalah manusia bebas.
Di sini digambarkan bahwa seorang samurai terikat dengan hukum-hukum tertentu, berbeda dengan dua orang luar di film ini yang hidup bebas, yaitu Naritsugu (mewakili orang yang berkuasa dan mengontrol ratusan Samurai) dan Koyata Kiga si pemburu dari rimba (tidak mau tunduk pada apapun kecuali atas kemauannya sendiri, dan bahkan ia berselingkuh dengan istri majikannya).
Hukum pertama, tentu saja keterikatannya untuk setia kepada tuannya, hingga titik darah penghabisan. Bahkan, jika sang tuan mati, dia wajib membalaskan dendamnya—istilah Samurai sebenarnya berarti "mereka yang melayani". Loyalitas mutlak ini terlihat pada Hanbei Kitou (Masachika Ichimura ) yang adalah teman akrab Shinzaemon saat sekolah bersama. Dia, atas nama kesetiaan membela tuannya walaupun sadar bahwa sang majikan seorang bajingan.
Dan, keduanya bertemu dalam hukum kedua: kode ketat kehormatan prajurit. Sang Majikan adalah sosok yang bebas merdeka dan lebih mengikuti nalurinya, yaitu kesenangan atas ketegangan dan keberanian. Dia tak kenal takut, walau 13 petarung itu membantai para pengawalnya. Dia malah merasakan kesenangan yang amat sangat, sebuah euforia atas sebuah pengalaman mencekam.
Tokoh lainnya, seorang urakan yang bebas merdeka, juga melakukan hal sesuai nalurinya. Ia mengikuti dan membantu ke-12 samurai itu karena merekalah yang membantunya melepaskan diri dari jebakan di hutan belantara yang sunyi. Namun, dengan gaya khasnya, ia juga mampu bertarung, dengan jurus asal-asalannya —tentu tanpa pedang. Dan ia acap melecehkan para Samurai yang merasa diri mereka penuh dengan kemuliaan dan kehormatan.
Selama 126 menit kita disuguhi sebuah tontonan kisah epik abad ke-19 yang mempesona, khususnya dari segi sinematografi dan koreografi pertempuran. Tentu mutu film ini tak lepas pula dari peran produser Toshiaki Nakazawa (produser 'Departures' yang meraih Piala Oscar untuk Film Asing Terbaik 2009), dan produser eksekutif Jeremy Thomas (produser Inggris yang sukses mengantarkan film Asia seperti 'The Last Emperor' - Bernardo Bertolucci, 'Merry Christmas, Mr Lawrence - Nagisa Ôshima serta 'Brother' - Takeshi Kitano).
Film ini diputar di Festival Film Cannes, mendapat nominasi Golden Lion di Festival Film Venice, dan dipertunjukkan pula di Spring Showcase Festival Film Hawaii. Semoga hadir di Indonesia dalam waktu dekat.
Ceritanya sederhana. Adalah Lord Naritsugu (Gorô Inagaki), adik dari seorang Shogun, yang bertindak sewenang-wenang, memperkosa dan membunuh, tanpa ada seorang pun yang berani bertindak. Dan ketika ia mendapat jabatan politik yang cukup signifikan, kecemasan makin melanda. Maka, Samurai senior Shinzaemon Shimada (Koji Yakusho) mengajak 11 samurai lainnya untuk membunuh sang tirani, termasuk keponakannya, Shinrouko (Takayuki Yamada).
Samurai lainnya adalah Kuranaga (wakil Shinzaemon, veteran samurai), Hirayama (murid Shinzaemon, seorang ronin yang mirip dengan karakter Kyūzō ('Seven Samurai') dan Britt ('The Magnificent Seven'), Sahara (ronin senior), Horii dan Hoguchi (murid Kuranaga yang pakar bahan peledak), Mitsuhashi (murid Kuranaga, ditugaskan menjadi tim pendahulu ke Edo), Ogura (belum pernah bertarung, tapi berdedikasi tinggi), serta samurai berkemampuan tinggi seperti Otake , Ishizuka, dan Hioki.
Setelah melakukan riset dan perencanaan matang (yang membuat penonton harus menunggu dengan sabar), diputuskan Edo adalah kota yang tepat untuk mencegat rombongan diktator itu. Masalahnya, Naritsugu mempunyai lebih dari 200 pengawal, bukan 70 seperti yang diperkirakan, yang semuanya samurai handal. Maka, ke-12 samurai, plus satu orang yang mereka temukan di belantara hutan, membuat jebakan-jebakan macam McGyver kuno. Dan pertarungan pun terjadi.
Masalah pertama: untuk "menikmati" pertempuran tradisional ini, penonton harus bersabar 45 menit. Tapi kesabaran itu akan terbayarkan karena 30 menit terakhir, tidak ada adegan yang tidak menyajikan adu pedang, atau semacamnya.
Bukan Miike namanya kalau tidak ada inovasi atau pesan. Walau film ini adalah daurulang dari film berjudul sama pada1963 karya Eiichi Kudo, dan terlihat sangat terinspirasi oleh 'Seven Samurai' buatan Akira Kurowasa, tapi "tanda tangan"-nya tetap terlihat.
Film ini mengkritisi institusi agung bernama "Samurai" dengan segala prinsipnya. Dan pengkritiknya adalah dua orang non-Samurai, yaitu Naritsugu dan "pembunuh ke-13", Koyata Kiga (Yûsuke Iseya) yang adalah manusia bebas.
Di sini digambarkan bahwa seorang samurai terikat dengan hukum-hukum tertentu, berbeda dengan dua orang luar di film ini yang hidup bebas, yaitu Naritsugu (mewakili orang yang berkuasa dan mengontrol ratusan Samurai) dan Koyata Kiga si pemburu dari rimba (tidak mau tunduk pada apapun kecuali atas kemauannya sendiri, dan bahkan ia berselingkuh dengan istri majikannya).
Hukum pertama, tentu saja keterikatannya untuk setia kepada tuannya, hingga titik darah penghabisan. Bahkan, jika sang tuan mati, dia wajib membalaskan dendamnya—istilah Samurai sebenarnya berarti "mereka yang melayani". Loyalitas mutlak ini terlihat pada Hanbei Kitou (Masachika Ichimura ) yang adalah teman akrab Shinzaemon saat sekolah bersama. Dia, atas nama kesetiaan membela tuannya walaupun sadar bahwa sang majikan seorang bajingan.
Dan, keduanya bertemu dalam hukum kedua: kode ketat kehormatan prajurit. Sang Majikan adalah sosok yang bebas merdeka dan lebih mengikuti nalurinya, yaitu kesenangan atas ketegangan dan keberanian. Dia tak kenal takut, walau 13 petarung itu membantai para pengawalnya. Dia malah merasakan kesenangan yang amat sangat, sebuah euforia atas sebuah pengalaman mencekam.
Tokoh lainnya, seorang urakan yang bebas merdeka, juga melakukan hal sesuai nalurinya. Ia mengikuti dan membantu ke-12 samurai itu karena merekalah yang membantunya melepaskan diri dari jebakan di hutan belantara yang sunyi. Namun, dengan gaya khasnya, ia juga mampu bertarung, dengan jurus asal-asalannya —tentu tanpa pedang. Dan ia acap melecehkan para Samurai yang merasa diri mereka penuh dengan kemuliaan dan kehormatan.
Selama 126 menit kita disuguhi sebuah tontonan kisah epik abad ke-19 yang mempesona, khususnya dari segi sinematografi dan koreografi pertempuran. Tentu mutu film ini tak lepas pula dari peran produser Toshiaki Nakazawa (produser 'Departures' yang meraih Piala Oscar untuk Film Asing Terbaik 2009), dan produser eksekutif Jeremy Thomas (produser Inggris yang sukses mengantarkan film Asia seperti 'The Last Emperor' - Bernardo Bertolucci, 'Merry Christmas, Mr Lawrence - Nagisa Ôshima serta 'Brother' - Takeshi Kitano).
Film ini diputar di Festival Film Cannes, mendapat nominasi Golden Lion di Festival Film Venice, dan dipertunjukkan pula di Spring Showcase Festival Film Hawaii. Semoga hadir di Indonesia dalam waktu dekat.
0 komentar:
Posting Komentar